
Surabaya, JATIMMEDIA.COM – Siapapun pasti tidak ingin sakit, apalagi sakit yang berkepanjangan dan banyak memakan biaya. Begitu juga dengan pak Suwito, warga jojoran Surabaya, yang harus melakukan kegiatan cuci darah dua kali dalam seminggu agar tetap mampu bertahan menjalani kehidupan.
“Awalnya saya gak tau kalau mengalami gagal ginjal karena saya tidak pernah mearsa sakit. Tapi tiba-tiba suatu saat saya tidak bisa mengontrol omongan saya. Saya pingin ngomong apa keluarnya apa,” tutur Suwito, saat melakukan proses cuci darah atau Hemodialysis (HD) di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RS Unair) Surabaya.
Mengetahui kondisi yang tidak normal, keluarga Suwito segera membawanya ke rumah sakit. Dan ternyata Suwito terdeteksi mengalami gagal ginjal, sehingga kemudian harus menjalani proses cuci darah secara rutin.
“Tiga tahun yang lalu, saya melakukan cuci darah di RS Daerah Dr. Soetomo. Dan setelah tau di RS Unair juga bisa melakukan program cuci darah, saya pindah kesini,” tambahnya.

Suwito sendiri mengakui bahwa dengan keikutsertaan dia sebagai peserta Askes yang sekarang sudah bergabung menjadi satu dibawah BPJS Kesehatan, sangat membantu dia dalam pembiayaan selama dia berobat dan melakukan cuci darah.
“Bayangkan kalau tidak pakai BPJS, berapa uang yang saya harus keluarkan untuk biaya berobat saya. Mangkanya saya sangat berterima kasih pada BPJS Kesehatan yang sudah menyelamatkan saya dari kimiskinan dan kondisi yang lebih buruk,” ujar pensiunan guru itu.
Memang harus diakui bahwa, khususnya untuk penderita HD, biaya yang dikeluarkan akan sangat besar. Karena seperti dikemukakan Kepala Perawat Instalasi Hemodialysis RS Unair, Qoirul Anwar, biaya yang diperlukan untuk satu kali cuci darah sekitar Rp 1 juta.
“Jadi kalau seperti pak Suwito yang harus melakukannya dua kali dalam seminggu, maka dalam sebulan sudah menghabiskan biaya sebesar Rp 8 juta. Nah kalau seperti sekarang yang sudah berjalan tiga tahun, kira-kira sudah hamper Rp 300 juta,” jelas Qoirul.
Suwito, juga menambahkan bahwa selama ini dia melakukan cuci darah sendirian, termasuk ketika harus mengurus surat rujukan dari puskesmas (FKTP, red). Karena itu, ketika dia mendengar adanya program baru dari BPJS yang bisa membuat pasien HD tidak perlu lagi mengurus surat rujukan, maka ia sangat senang.
“Ya seneng sekali kalau nantinya sudah tidak perlu ngurus surat rujukan, jadi gak perlu riwa riwi lagi. Soalnya saya pernah mau berobat, ternyata surat rujukannya sudah habis masanya, ya terpaksa harus ngurus dulu ke puskesmas,” jelas mantan pemain bola Niac Mitra Surabaya ini.
Disisi lain, Kabid SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Surabaya, Dhani Rahmadian menjelaskan bahwa terhitung mulai awal Januari 2020, BPJS Kesehatan memangkas prosedur pelayanan kesehatan bagi pasien hemodialysis, dengan menggunakan perekaman data dan sidik jari atau fingerprint di rumah sakit atau klinik utama yang menyediakan alat untuk hemodialisa.
“Dengan demikian pasien HD tidak perlu lagi meminta atau memperpanjang surat rujukan dari FKTP lagi. Cukup pasien melakukan perekaman data dan sidik jari, setelah itu bisa langsung berobat.
Dhani juga menyampaikan bahwa dalam catatan BPJS Kesehatan Surabaya, sepanjang tahun 2019 kemarin, BPJS Kesehatan Surabaya sudah mengeluarkan biaya sebesar Rp 117 milyar, khusus untuk kasus HD. Tentu ini adalah biaya yang sangat besar.
“Total biaya ini adalah untuk sebanyak 128.291 kasus, yang ditangani di 18 Rumah Sakit di Surabaya,” pungkas Dhani. (JM01)