Surabaya, JATIMMEDIA.COM – Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) terus melakukan pengawalan terhadap kasus dugaan pencabulan dengan terdakwa Hanny Layantara (HL), seorang pendeta di Surabaya yang saat ini sedang dalam persidangan.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan, pengawalan dilakukan agar bisa menciptakan proses persidangan yang adil pada dugaan pencabulan yang dilakukan HL terhadap salah seorang jemaatnya.
Arist juga mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar terdakwa HL dituntut dengan hukuman yang seberat–beratnya, karena pendeta di Gereja Happy Family Center (HFC) itu dianggap telah secara sadar dan berulang-ulang melakukan perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur.
“Kita terus mendorong agar tuntutan jaksa bisa maksimal. Kami mendengar dan sangat perlu untuk jadi perhatian, karena tuntutannya tidak sesuai dengan perlakuan tindak pidana yang dilakukan HL, maka sebelum tuntutan dibacakan, kami mendorong agar pelaku bisa dijerat UU Nomor 17 Tahun 2016. Bukan UU Nomor 35 Tahun 2014,” katanya pada jatimmedia.com di Surabaya, Rabu (12/8/2020).
Arist juga menjelaskan bahwa hendaknya jaksa menggunakan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU dengan ancaman hukuman bagi pelaku pencabulan maksimal 20 tahun penjara. Dan bukan menggunakan UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara.
“Kejahatan yang dilakukan HL itu termasuk kejahatan luar biasa, bahkan masuk kategori extra ordinary crime, sebagai predator anak. Hukumannya harus maksimal karena tindakan pencabulan itu dilakukan berulang-ulang pada anak dibawah umur. Dan itu dilakukan secara sadar,” tegasnya.
Selain hukuman maksimal, Arist Merdeka Sirait juga berharap agar Jaksa dan Hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan kebiri, mengingat HL melakukan perbuatannya secara sadar dan berulang terhadap korban sejak berusia 12 tahun.
“Perbuatan Pendeta HL ini merupakan kejahatan sangat tidak manuasiawi, sebagai predator anak. Apalagi dengan mengatasnamakan agama dengan menganggap korban sebagai Anak Rohani,” tambah Arist.
Selain itu, Arist Merdeka Sirait juga menyampaikan bahwa dalam ancaman di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 memungkinkan untuk adanya penjatuhan pidana tambahan berupa suntikan kebiri kimia dan pemasangan chip untuk memonitor keberadaan pelaku kejahatan seksual pada anak.
“Terlebih terdakwa ini diduga melakukan perbuatannya secara berulang-ulang dan sadar dilakukan pada anak. Dan sesuai undang-undangnya, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa kebiri kimia melalui suntikan,” pungkasnya
Sementara ditempat terpisah, ketika dihubungi melalui saluran telepon, kuasa hukum Pendeta HL, Abdul Rahman Saleh, SH, M.H mengatakan, apa yang disampaikan Pak Arist sudah melebihi apa yang didakwakan oleh jaksa.
“Jaksakan tidak mendakwa undang undang seperti itu, undang undang no 17 tahun 2016, tapi hanya menjerat perlindungan anak undang undang no 23 tahun 2002, jadi apa, jangan melebihi yang didakwa oleh jaksa” lanjutnya.
Abdul Rahman Saleh juga menambahkan bahwa bahwa persidangan tersebut kan bersifat tertutup jadi jangan berkomentar diluar arena persidangan
“Sudah berkali kali dibilangi sidang ini tertutup. Jangan berkomentar diluar arena persidangan. Coba lihat dakwa jaksa. Tidak ada jaksa mendakwa dengan undang undang no 17 tahun 2016, itu tidak ada,” terangnya, sambil menambahkan bahwa opini Pak Arist itu bukan alat hukum.
Diketahui, dalam perkara ini, pendeta HL didakwa melanggar Pasal 82 UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 264 KUHP.
Kasus ini sendiri terbongkar saat korban hendak menikah. Pendeta HL ditangkap pada Sabtu (07/03/2020) lalu, di area Perumahan Pondok Tjandra, Waru, Sidoarjo,saat disinyalir hendak pergi keluar negeri. Saat ini, Hanny mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Polrestabes Surabaya. (JM01)