Surabaya, JATIMMEDIA.COM – Masih adanya anak di Kota Surabaya yang mengalami putus sekolah karena faktor biaya, membuat Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Reni Astuti merasa terenyuh mendengarnya.
Reni mengaku dirinya sudah mengunjungi salah satu anak yang mengalami putus sekolah di Jalan Lontar RT 1 RW 2, Sambikerep, pada Senin (3/7/2023) lalu. Dari kunjungan itu, diketahui anak tersebut sudah tidak mengenyam pendidikan formal selama dua tahun, serta hidup dalam keluarga dengan keterbatasan.
“Ya, ada laporan dari warga terkait anak putus sekolah karena kondisi ekonomi. Padahal anak tersebut harusnya sudah sekolah kelas XII SMA. Karena itu kami meminta agar Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya segera melakukan intervensi,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Rabu (12/7/2023).
Tidak hanya itu, sebelumnya, Reni juga sempat mendatangi warga Bulak Banteng pada (10/6/2023) lalu, dan menemui keluarga yang keempat anaknya putus sekolah karena faktor kemiskinan. Keluarga tersebut tinggal di rumah yang hanya berukuran 2×3 meter dengan satu petak yang digunakan untuk ruang tamu, tempat tidur, dan dapur.
Melihat kondisi masih adanya anak yang putus sekolah di kota metropolitan ini, membuat Reni khawatir bahwa mungkin masih banyak anak-anak di Surabaya yang putus sekolah lantaran tak mempunyai biaya. Apalagi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB), daya tampung sekolah negeri di Surabaya terbatas. Misalnya, lulusan SD terdapat 40.000 siswa, sementara daya tampung SMP Negeri hanya 20.000.
“Di kota yang sebesar dan semaju ini, masih saja ada anak putus sekolah. Tentu saja ini memprihatinkan. Apalagi sesuai amanah konstitusi UUD 1945, bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara,” ungkapnya.
BACA JUGA : DPRD Surabaya Minta Pemkot Proaktif Soal Mangkraknya Bus Listrik
Reni berharap, semua kelurahan di Surabaya bisa lebih aktif melakukan deteksi dini melalui pendataan yang lebih detail terhadap warga yang masuk kategori miskin dan miskin ekstrem.
“Surabaya harus menghapuskan anak-anak yang putus sekolah hingga nol. Apalagi Kota Surabaya memiliki visi besar yaitu Gotong Royong menuju Surabaya Kota Dunia yang Maju, Humanis, dan Berkelanjutan. Dengan visi besar itu, jika masih ada anak putus sekolah, maka sangat ironis. Itu tentu tidak humanis,” jelas Reni.
Pendidikan, Tambah Reni, merupakan salah satu amanah yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar dan Kota Surabaya juga mempunyai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Surabaya yang mengamanatkan wajib belajar 12 tahun.
“Melalui Perda tersebut, Pemkot Surabaya harusnya memiliki kewajiban untuk memperhatikan pendidikan anak-anak. Meski tingkat SMA dan SMK dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Timur, namun Pemkot masih punya tanggung jawab,” ujar Reni.
BACA JUGA : DPRD Surabaya Dorong Pasar Tunjungan jadi Sentra Produk Difabel
Meki demikian, Reni tidak memungkiri bahwa Pemkot Surabaya sudah menunjukkan atensinya pada anak tingkat SMA atau SMK. Mereka yang berasal dari keluarga miskin akan diberikan bantuan beasiswa Pemuda Tangguh. Dalam beasiswa itu Pemkot Surabaya menyalurkan bantuan Rp 200 ribu per bulan serta seragam dan sepatu, yang dananya berasal dari APBD Kota Surabaya.
“Tapi kalau untuk sekolah swasta masih ada biaya lain yang tidak bisa tercukupi dengan bantuan Rp 200 ribu itu. Hal inilah yang menyulitkan warga miskin untuk bisa memberikan pendidikan berkualitas pada anak-anaknya,” tambahnya.
Reni juga pun mendorong Pemkot untuk segera berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi agar bisa memastikan anak-anak di Surabaya mendapat pendidikan berkualitas.
“Jangan sampai nantinya ada pemberitaan tentang Pemkot membantu siswa yang ijazahnya ditahan, siswa yang tidak bisa ikut ujian, atau tidak bisa ambil rapor,” jelasnya.
BACA JUGA : DPRD Surabaya Dorong Pemkot Optimalkan Pelaksanaan Perda CSR
Persoalan ini, lanjutnya, tidak boleh hanya tuntas di hilir saja, namun Pemkot juga harus bisa mengatasi masalah di hulunya. (Adv/JM01)